PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
INDONESIA (PMRI)
Abdul Aziz Saefudin
Dosen Program Studi Pendidikan
Matematika Universitas PGRI Yogyakarta (UPY)
Email: aa_ziz@yahoo.com
Abstrak
Pengembangan kemampuan berpikir kreatif dalam pembelajaran
matematika dengan pendekatan
PMRI karena adanya prinsip dan karakteristik PMRI yang diterapkan dalam
pembelajaran. Salah satu prinsipnya yaitu penemuan kembali suatu
konsep matematika memungkinkan siswa untuk mengalami sendiri penemuan konsep
tersebut. Salah satu karakteristiknya yaitu pemodelan dalam pemecahan masalah
matematika juga memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif
siswa. Dengan prinsip dan karakteristik PMRI tersebut, dimungkinkan siswa
melakukan aktivitas-aktivitas kreatif dalam pemecahan masalah matematika,
terutama masalah matematika terbuka.
Kata kunci: kemampuan berpikir
kreatif, pendekatan PMRI
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kreativitas merupakan suatu hal yang kurang diperhatikan dalam
pembelajaran matematika. Selama ini guru hanya mengutamakan logika dan
kemampuan komputasi (hitung-menghitung) sehingga kreativitas dianggap bukanlah
sesuatu yang penting dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Padahal,
pada latar belakang Kurikulum 2006 (2006: 416) disebutkan bahwa kemampuan
berpikir kreatif diperlukan untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa
depan. Dalam Kurikulum 2006 tersebut, disebutkan bahwa mata pelajaran
Matematika diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk
membekali peserta didik kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis
dan kreatif, dan kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut dikembangkan dalam
diri siswa, agar siswa memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti, dan kompetitif.
Di samping tujuan tersebut, mata pelajaran Matematika diberikan kepada
siswa untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan
masalah. Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah
terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara
penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu
dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika,
menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya (BSNP, 2006: 416). Dengan
demikian, pembelajaran matematika mempunyai peran yang sangat sentral dalam
mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam pemecahan masalah.
Dalam pemecahan masalah matematika, diperlukan pemikiran dan gagasan yang
kreatif dalam membuat (merumuskan) dan menyelesaikan model matematika serta
menafsirkan solusi dari suatu masalah matematika. Pemikiran dan gagasan yang
kreatif tersebut akan muncul dan berkembang jika proses pembelajaran matematika
di dalam kelas menggunakan pendekatan pembelajaran yang tepat.
Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI) (Siswono, 2007: 14). Kemampuan berpikir kreatif ini sangat
diperlukan siswa dalam memecahkan suatu permasalahan matematika. Dalam proses
pemecahan permasalahan matematika, siswa akan menggunakan belahan otak kirinya
untuk menganalisis dan mengkritisi permasalahan tersebut. Secara bersamaan,
siswa juga menggunakan belahan otak kanan untuk memikirkan secara kreatif
penyelesaian masalah matematika tersebut. Maka dari itu, belahan otak bagian
kiri dan otak bagian kanan akan digunakan siswa secara bersamaan dalam proses
pembelajaran matematika.
Dalam pembelajaran matematika, selayaknya kemampuan berpikir kreatif siswa
dapat dikembangkan, terutama pembelajaran yang berbasis pada pemecahan masalah
matematika. Guru juga perlu menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran
yang tepat dalam proses pembelajaran di kelas. Lantas, bagaimanakah pengembangan
kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMRI? Tulisan berikut mengulas tentang hal tersebut.
BAHASAN
Kemampuan
Berpikir Kreatif
Berpikir asal katanya adalah pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2007: 872), pikir berarti akal budi, ingatan, angan-angan, pendapat atau
pertimbangan. Berpikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu, serta
menimbang-nimbang dalam ingatan. Sedangkan para ahli psikologi kognitif
memandang berpikir merupakan kegiatan memproses informasi secara mental atau
secara kognitif. Berpikir dianggap sebagai proses penyusunan ulang atau
manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang
disimpan dalam memori jangka panjang. Maka dari itu, berpikir diartikan sebagai
sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:
117). Jika dikaitkan dengan pemecahan masalah, berpikir merupakan sebuah proses
mental yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan seperti menghubungkan
pengertian yang satu dengan pengertian lainnya dalam sistem kognitif yang
diarahkan untuk menghasilkan solusi dalam memecahkan masalah.
Berpikir kreatif diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan
seseorang untuk membangun ide atau gagasan baru (Ruggiero dan Evans dalam
Siswono, 2007). Dalam berpikir kreatif tersebut, kedua belahan otak digunakan
bersama-sama secara optimal. Pehkonen (1997) menyatakan bahwa berpikir kreatif
sebagai kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang berdasarkan
pada intuisi dalam kesadaran. Oleh karena itu, berpikir kreatif melibatkan
logika dan intuisi secara bersama-sama. Secara khusus dapat dikatakan berpikir
kreatif sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir
divergen guna menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru tersebut
merupakan salah satu indikasi berpikir kreatif dalam matematika, sedangkan
indikasi yang lain berkaitan dengan berpikir logis dan berpikir divergen.
Sejalan dengan hal tersebut, Krulik dan Rudnik (1995: 3)
menyebutkan bahwa berpikir kreatif merupakan salah tingkat tertinggi seseorang
dalam berpikir, yaitu dimulai ingatan (recall), berpikir dasar (basic
thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking).
Berpikir yang tingkatnya di atas ingatan (recall) dinamakan penalaran
(reasoning). Sementara berpikir yang tingkatnya di atas berpikir dasar
dinamakan berpikir tingkat tinggi (high order thinking).
Dalam berpikir kreatif, seseorang akan melalui tahapan
mensintesis ide-ide, membangun ide-ide, merencanakan penerapan ide-ide, dan
menerapkan ide-ide tersebut sehingga menghasilkan sesuatu atau produk yang baru.
Produk yang dimaksud adalah kreativitas (Siswono, 2007). Secara umum, Campbell
(1986: 11) mendefinisikan kreativitas sebagai kegiatan yang menghasilkan
sesuatu yang bersifat baru (novel), berguna, dan dapat dimengerti
(understandable). Sementara menurut Munandar (2009: 27), kreativitas adalah
kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana
penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban.
Selanjutnya Ali dan Asrori (2009: 42-43) menyatakan bahwa kreativitas merupakan
kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang sama sekali baru atau
kombinasi dari karya-karya yang telah ada sebelumnya menjadi suatu karya baru
yang dilakukan melalui interaksi dengan lingkungannya untuk menghadapi
permasalahan dan mencari alternatif pemecahannya melalui cara-cara berpikir
divergen. Dengan kata lain, berbagai pendapat tersebut menyatakan bahwa
kreativitas merupakan suatu produk kemampuan (berpikir kreatif) untuk
menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam menghadapi suatu masalah
atau situasi.
Secara khusus, kreativitas matematika menurut Krutetskii
(dalam Siswono, 2007) merupakan suatu penguasaan kreatif mandiri matematika
dalam pembelajaran matematika, perumusan mandiri masalah-masalah matematis yang
tidak rumit, penemuan cara-cara atau sarana dari penyelesaian masalah, penemuan
bukti-bukti teorema, pendeduksian mandiri rumus-rumus, dan penemuan
metode-metode penyelesaian masalah non-standar. Sesuai dengan pendapat
tersebut, kreativitas dalam penelitian ini ditekankan pada pemecahan masalah
matematika.
Dalam meningkatkan kemampuan kreativitas dalam pemecahan
masalah, Silver (1997: 75) mengindikasikan adanya tiga kriteria, yaitu
kefasihan (fluency), fleksibilitas, dan kebaruan (novelty).
Menurut Silver, hubungan kreativitas dalam pemecahan masalah dapat diperhatikan
pada tabel berikut.
Tabel 1 Hubungan Kreativitas dalam Pemecahan
Masalah
Komponen Kreativitas
|
Pemecahan Masalah
|
Kefasihan
|
·
Siswa menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam solusi dan jawaban.
|
Fleksibilitas
|
·
Siswa menyelesaikan masalah dengan satu cara lalu dengan cara lain.
·
Siswa mendiskusikan berbagai metode penyelesaian.
|
Kebaruan
|
·
Siswa memeriksa jawaban dengan berbagai metode penyelesaian dan kemudian
membuat metode yang baru yang berbeda.
|
Produk kemampuan berpikir kreatif siswa adalah kreativitas siswa dalam
pemecahan masalah matematika. Kriteria kreativitas pemecahan masalah menurut
Silver (1997) diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan.
Kefasihan dalam pemecahan masalah didasarkan pada kemampuan siswa
memecahkan/menyelesaikan masalah dengan memberi jawaban yang beragam dan benar.
Beberapa jawaban dikatakan beragam jika jawaban-jawaban yang diberikan siswa
tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu. Fleksibilitas ditunjukkan dengan
kemampuan siswa memecahkan/menyelesaikan masalah dengan berbagai cara yang
berbeda. Sementara kebaruan dalam pemecahan masalah didasarkan pada kemampuan
siswa menjawab/menyelesaikan masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda-beda
tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh siswa
pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban tersebut dikatakan berbeda jika
jawaban tersebut tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu (Siswono,
2007).
Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
PMRI merupakan adaptasi dari RME (Realistic Mathematics Education),
maka prinsip PMRI sama dengan prinsip RME. Meskipun begitu, dalam beberapa hal
PMRI berbeda dengan RME karena konteks, budaya, sistem sosial dan alamnya
berbeda. Gravemeijer (dalam Marpaung, 2005: 3) merumuskan tiga prinsip RME,
yaitu reinvensi terbimbing dan matematisasi berkelanjutan, fenomenologi
dikdaktis, dan dari informal ke formal. Sementara Van den Heuvel-Panhuizen
merumuskan prinsip RME sebagai berikut.
1. Prinsip aktivitas, maksudnya matematika adalah
aktivitas manusia. Siswa harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam
pembelajaran matematika. Siswa harus aktif secara mental mengolah dan
menganalisis informasi, serta mengkonstruksi pengetahuan matematika.
2. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran dimulai
dengan masalah-masalah yang realistik (dapat dibayangkan) oleh siswa. Dengan
demikian, siswa menjadi tertarik dalam proses pembelajaran. Secara bertahap,
siswa dibimbing memahami masalah-masalah matematis formal.
3. Prinsip berjenjang, maksudnya ketika siswa belajar
matematika tentu melewati berbagai jenjang pemahaman. Jenjang pemahaman yang
dimaksud yaitu mulai dari mampu menemukan penyelesaian suatu masalah kontekstual atau realistik
secara informal melalui skematisasi sehingga memperoleh insight tentang hal-hal
yang mendasar sampai mampu menemukan penyelesaian suatu masalah matematis
secara formal. Dalam proses tersebut, diperlukan suatu model bertindak untuk
menjembatani antara yang formal dengan informal. Selanjutnya model tersebut
berubah melalui abstraksi dan generalisasi menjadi model untuk semua
permasalahan yang ekuivalen.
4. Prinsip jalinan, berarti bahwa berbagai aspek atau
topik dalam matematika tidak dipandang dan dipelajari secara terpisah, tetapi terjalin
satu dengan lainnya sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi
tersebut.
5. Prinsip interaksi, adalah matematika dipandang
sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan untuk
mengemukakan strategi penyelesaian masalah kepada siswa lainnya sehingga dapat
ditanggapi dan begitu juga sebaliknya bagi siswa yang lain.
6. Prinsip bimbingan, yaitu siswa diberikan
kesempatan untuk “menemukan kembali (re-invent)” pengetahuan matematika
terbimbing.
Sementara itu, Marpaung (2005: 3) menjelaskan karakteristik PMRI sebagai
berikut.
1. Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia).
2. Pembelajaran sedapat mungkin
dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik.
3. Guru memberi kesempatan pada
siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri.
4. Guru menciptakan suasana
pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa dapat menyelesaikan
masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
6. Pembelajaran tidak selalu di
kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah untuk
mengamati atau mengumpulkan data).
7. Guru mendorong terjadinya
interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan
guru.
8. Siswa bebas memilih modus
representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan
suatu masalah (menggunakan model).
9. Guru bertindak sebagai
fasilitator (tutwuri handayani).
10. Kalau siswa membuat kesalahan
dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui
pertanyaan-pertanyaan (sani dan motivasi).
Aspek-aspek dalam
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMRI adalah sebagai
berikut (Dhoruri, 2010).
1.
Pendahuluan
a.
Memulai
pembelajaran dengan memberikan suatu masalah yang real bagi siswa sesuai
tingkat perkembangan kognitifnya dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
b.
Menyampaikan
tujuan pembelajaran dan memberikan motivasi kepada siswa.
2.
Pengembangan
a.
Siswa
mengembangkan model-model simbolik secara informal pada masalah yang diajukan.
b.
Pembelajaran
berlangsung interaktif.
3.
Penutup/penerapan
Melakukan refleksi
setiap langkah yang ditempuh dan memberikan tindak lanjut atau PR.
Pengembangan
Kemampuan Berpikir Kreatif dalam Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan PMRI
Kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dikembangkan dengan pendekatan PMRI
karena adanya prinsip dan karakteristik PMRI yang diterapkan dalam pembelajaran
(Siswono, 2007). Misalnya, salah satu prinsip PMRI yaitu prinsip aktivitas yang
menganggap perlunya penemuan kembali suatu konsep matematika. Prinsip ini
menghendaki siswa belajar matematika dengan mengalami sendiri (beraktivitas).
Melalui aktivitas kreatif, kreativitas yang siswa miliki akan berkembang dengan
baik.
Sementara untuk karakteristik PMRI salah satunya adalah penggunaan model
dan kesempatan yang diberikan guru dalam memecahkan masalah dengan cara siswa
sendiri. Karakteristik ini memungkinkan siswa untuk menyelesaikan masalah
matematika dengan kemampuan berpikir kreatif. Pemecahan masalah tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa strategi yang sudah dikenal dan dikemukakan oleh beberapa
ahli pendidikan matematika seperti Polya (1973) dan Pasmep (1989) sebagai
berikut (Dhoruri, 2010).
1. Menggambar diagram
Menggambar diagram atau gambar dapat dilakukan siswa terutama dalam
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi geometri. Meskipun begitu,
materi yang lain seperti bilangan dan statistik juga dapat menggunakan diagram
atau gambar.
2. Bergerak dari belakang (working backward)
Membuktikan suatu pernyataan dilakukan dengan menyelesaikan mulai dari
yang diketahui dari soal hingga pada sesuatu yang ditanyakan. Hal ini berbeda
dengan strategi bergerak dari belakang. Bergerak dari belakang maksudnya
menyelesaikan dengan berangkat dari yang dibuktikan hingga sampai yang
diketahui dari soal.
3. Menebak secara bijak dan
mengujinya
Strategi tersebut dilakukan dengan cara menebak solusi dari suatu soal dan
selanjutnya menguji solusi soal tersebut. Strategi ini dapat dilakukan untuk menyelesaikan
masalah alfametika yaitu suatu teka-teki yang menggunakan huruf-huruf sebagai
pengganti angka-angka dengan permasalahan menemukan angka-angka yang cocok
dengan algoritmanya.
4. Menemukan pola
Menemukan pola dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah barisan
bilangan. Penyelesaian masalah barisan bilangan tidak hanya satu pola
penyelesaian saja, tetapi dapat beragam.
5. Mempertimbangkan yang ekstrim
Strategi ini dilakukan untuk menyelesaikan masalah dengan mempertimbangkan
suatu solusi yang ekstrim (di luar biasanya). Dalam beberapa kasus tertentu,
strategi ini dapat membantu dalam menentukan solusi secara singkat dan tepat.
Misalnya, kita mengatakan, “Apakah hasil terbaik yang mungkin terjadi
seandainya …” atau “Apakah kemungkinan terburuk yang terjadi seandainya …”.
6. Pengorganisasian data
Suatu permasalahan seringkali lebih mudah diselesaikan dengan mengatur
atau mengorganisir data yang ada. Hal ini dapat lebih mempermudah dalam
menghitung dan memanipulasi data tersebut.
7. Menggunakan kalkulator atau
komputer
Masalah yang memerlukan banyak perhitungan dapat diselesaikan dengan
menggunakan bantuan kalkulator atau komputer.
8. Menggunakan alasan yang logis
Logika formal biasanya digunakan sebagai dasar pembuktian matematika
secara deduktif. Alasan logis yang bukan bukti seringkali menjadi analisis
suatu soal. Jika siswa memungkinkan dapat melakukan pembuktian maka disarankan
agar siswa banyak latihan soal “bukti atau tidak terbukti” sehingga siswa
terbiasa melakukan dugaaan (konjektur) sebelum melakukan pembuktian soal.
9. Mencoba pada permasalahan
serupa tetapi yang lebih sederhana
Suatu permasalahan dapat diselesaikan dengan banyak cara. Meskipun begitu,
langkah penyelesaian permasalahan tersebut dapat dipilih yang lebih efektif,
efisien, dan lebih tepat serta jelas. Strategi mencoba pada permasalahan serupa
tetapi lebih sederhana dapat menjadi salah satu alternatif dalam penyelesaian
soal.
10. Memperhitungkan setiap
kemungkinan
Beberapa masalah seringkali dapat diselesaikan dengan berbagai kemungkinan
yang ada. Caranya dapat dilakukan dengan membuat daftar berbagai kemungkinan
tersebut. Oleh karena itu, setiap kemungkinan tersebut perlu diperhitungkan
agar masalah yang diselesaikan dapat terpecahkan dengan baik.
11. Mengambil sudut pandang yang
berbeda
Kehandalan suatu strategi pemecahan masalah dapat dilakukan dengan
mengambil sudut pandang yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk memperoleh satu
jalan tersingkat dari berbagai solusi yang ada.
Strategi pemecahan masalah
tersebut tidak seluruhnya muncul dalam setiap pemecahan masalah matematika.
Strategi tersebut dapat diterapkan dengan memilih salah satu dari beberapa yang
diungkapkan di atas. Hal yang terpenting dalam pemecahan masalah adalah memahami
masalah yang akan diselesaikan, mengetahui hal yang diketahui, dan mengetahui
masalah yang akan harus dipecahkan. Siswa akan lebih mudah dalam pemecahan
masalah jika siswa terbiasa menyelesaikan berbagai masalah dengan berbagai
strategi penyelesaian.
Berkaitan pengembangan
kemampuan berpikir kreatif dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan
PMRI, siswa dapat diberi pembelajaran yang menekankan pada pemecahan masalah
matematika. Masalah yang dipilih dapat berupa masalah terbuka (open ended problem), baik masalah yang
dapat diselesaikan dengan banyak cara maupun masalah dengan banyak jawaban.
Salah satu contoh masalah
terbuka adalah sebagai berikut.
Seekor gajah beratnya 540 kg.
Diketahui jumlah berat beberapa
ekor rusa sama dengan berat gajah tersebut.
Berapa ekor rusa yang diperlukan
agar jumlah beratnya sama dengan berat seekor gajah?
Dengan soal yang berbentuk
masalah terbuka seperti soal tersebut, siswa dengan dibimbing guru dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya untuk menyelesaikan soal baik
dengan banyak cara maupun banyak jawaban. Siswa tidak hanya menyelesaikan soal
secara prosedural atau rutin saja, tetapi dapat menggunakan penyelesaian dengan
prosedur yang beragam.
Kemampuan berpikir kreatif
dalam pemecahan masalah tersebut dapat dilihat dari kefasihan (fluency),
fleksibilitas, dan kebaruan (novelty). Kefasihan dalam pemecahan masalah
didasarkan pada kemampuan siswa memecahkan/menyelesaikan masalah dengan memberi
jawaban yang beragam dan benar. Beberapa jawaban dikatakan beragam jika
jawaban-jawaban yang diberikan siswa tampak berlainan dan mengikuti pola
tertentu. Fleksibilitas ditunjukkan dengan kemampuan siswa
memecahkan/menyelesaikan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Sementara
kebaruan dalam pemecahan masalah didasarkan pada kemampuan siswa
menjawab/menyelesaikan masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda-beda tetapi
bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh siswa pada
tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban tersebut dikatakan berbeda jika
jawaban tersebut tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu.
Maka dari itu, pembelajaran
matematika dengan pendekatan PMRI memungkin siswa untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kreatifnya. Secara empirik, hal ini pernah dikemukakan dalam penelitian
Triyuwono (2009: 2) yang menunjukkan bahwa cara berpikir siswa yang berasal
dari SD/MI yang menerapkan PMRI lebih mementingkan proses dan cara penyelesaian
soal dengan berbagai cara atau banyak variasi (berpikir kreatif) dibandingkan
dengan siswa yang berasal dari SD/MI non-PMRI pada siswa SMP/MTs kelas VII.
KESIMPULAN
Pengembangan kemampuan berpikir kreatif dalam pembelajaran
matematika dengan pendekatan
PMRI karena adanya prinsip dan karakteristik PMRI yang diterapkan dalam
pembelajaran. Prinsip penemuan kembali suatu konsep matematika
memungkinkan siswa untuk mengalami sendiri penemuan konsep tersebut. Karakteristik
pemodelan dalam pemecahan masalah matematika juga memungkinkan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dengan prinsip tersebut,
dimungkinkan siswa melakukan aktivitas-aktivitas kreatif dalam pemecahan
masalah matematika, terutama masalah matematika terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah Sugeng Triyuwono. Perbandingan antara Minat
Belajar dan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas VII SMP/MTs yang Berasal
dari SD/MI yang Menerapkan PMRI dan SD/MI yang Tidak Menerapkan PMRI. Tesis
tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana Pendidikan Matematika UNS
Surakarta, 2009.
Atmini Dhoruri. 2010. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). http:// staff.uny.ac.id/.../...[30 Mei 2012].
BSNP. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan SD/MI.
Jakarta: Kemendiknas, 2006.
Campbell. Mengembangkan Kreativitas, disadur oleh A.
M. Mangunhardja. Yogyakarta: Pustaka Kaum Muda, 1896.
Krulik, Stephen, dan Rudnick, Jesse A. The New Sourcebook
for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Massachusetts:
Allyn & Bacon, 1995.
Marpaung, Y. Karakteristik PMRI (Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia). Makalah mata kuliah Problematika Pembelajaran
Matematika, Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana UNS Surakarta, 2005.
Muhammad Ali dan Muhammad Asrori. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Nyayu Khodijah. Psikologi Belajar. Palembang: IAIN
Raden Fatah Press, 2006.
Pehkonen, Erkki. The State of Art in Mathematical
Creativity, 1997. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. Volume 29, Juni 1997, No. 3, Electronic Edition ISSN
1615-679X, [24 Juni 2010].
Pusat Bahasa Kemendiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Silver, Edward A. Fostering Creativity through Instruction
Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing, 1997. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. Volume 29, Juni 1997, No. 3, Electronic Edition ISSN
1615-679X [24 Juni 2010].
Siswono, Tatag Yuli Eko. 2007. Pembelajaran Matematika Humanistik yang
Mengembangkan Kreativitas Siswa. Makalah disampaikan pada ‘Seminar Nasional
Pendidikan Matematika yang Memanusiakan Manusia’ di Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 28-30 Agustus
2007.
Siswono, Tatag Yuli Eko. Penjenjangan Kemampuan
Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan
dan Mengajukan Masalah Matematika, 2007. Ringkasan
disertasi diunduh dari http://suaraguru.wordpress.com [23
Desember 2009].
Utami Munandar. Pengembangan Kreativitas Anak
Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar