Oleh:
Abdul Aziz Saefudin
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk
memaparkan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menanamkan akhlaq mahmudah kepada siswa
dalam pembelajaran matematika. Matematika yang memiliki obyek kajian yang
abstrak seringkali menjadi kendala tersendiri bagi guru untuk mengembangkan
kemampuan afektif siswa. Padahal sebenarnya dalam pembelajaran matematika, guru
dapat mengembangkan dan menanamkan berbagai bentuk sikap positif seperti
kejujuran, ketelitian, hemat, percaya diri, bertanggung jawab, kerja sama dan
gotong royong. Proses penanaman berbagai bentuk akhlaq tersebut juga
dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui bahan materi matematika yang
sedang disampaikan guru atau pemberian makna (sikap terpuji) dalam obyek kajian
matematika, kemudian guru menyampaikan bentuk akhlak mahmudah secara
langsung kepada siswa, dan juga dapat melalui penggunaan metode pembelajaran
matematika di dalam kelas.
Keyword (kata kunci): akhlaq mahmudah, matematika,
pembelajaran matematika
A. Pendahuluan
Matematika berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen,
sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta
sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam
menjelaskan gagasan.[1]
Dengan fungsi yang demikian, matematika lebih banyak menekankan kemampuan logis
matematis siswa saja. Hal ini memang tidak
terlepas dari sifat matematika sendiri yang eksak dan cara memperoleh
pengetahuannya yang berdasar pada cara berpikir deduktif dan induktif. Oleh
karena itu, tidak salah jika dalam proses pembelajarannya, guru seringkali
lebih banyak membelajarkan matematika kepada siswa dalam bentuk materi
pelajaran yang berupa konsep atau definisi, prinsip, fakta, dan operasi
matematika saja. Dengan arti lain, guru hanya mengasah aspek kognitif siswa
saja. Padahal, seharusnya guru tidak hanya mengasah satu aspek tersebut, tetapi
juga perlu memerhatikan aspek-aspek yang lain seperti aspek afektif dan
psikomotorik.
Dalam proses pembelajaran matematika, guru seringkali
beralasan bahwa untuk mengasah aspek afektif dan psikomotorik tidaklah mudah.
Aspek yang terakhir yakni aspek psikomotorik mungkin bisa diasah, tetapi
terkendala jam pelajaran matematika di kelas yang tidak banyak. Mereka
menganggap bahwa memberikan materi dan drill soal lebih bermanfaat dibandingkan
melatih kemampuan psikomotorik siswa. Namun, hal itu juga diperlakukan sama
untuk aspek afektif siswa. Selama ini guru cenderung merasa terkendala untuk menginterpretasikan
dan mengimplementasikan aspek afektif siswa dalam proses pembelajaran di dalam
kelas. Apalagi jika dihadapkan dengan penilaian afektif siswa dalam proses
pembelajaran matematika, hal itu dianggap sulit untuk dilakukan. Alih-alih
untuk menanamkan nilai-nilai afektif kepada siswa di dalam kelas, tentu
tidaklah mudah. Dengan demikian, perlu pemahaman guru yang mendalam terkait
hakikat matematika dan hubungannya dengan proses pembelajarannya di dalam
kelas.
Jika merunut pada masalah tersebut, maka sangat wajar
matematika sebagai mata pelajaran dianggap tidak memberikan nilai-nilai yang
berguna dalam kehidupan sehari-hari. Matematika dianggap sebagai mata pelajaran
yang membahas konsep-konsep abstrak semata, seperti berhitung, rumus, dan
latihan soal. Bagi siswa dan kemungkinan juga guru, matematika dianggap hanya membahas
rumus dan soal-soal saja. Tidak ada nilai (aspek afektif) yang bisa ditanamkan
guru kepada siswa. Oleh karena itu, kesan kering dan membosankan dalam
pembelajaran matematika sangat sulit dihindari. Pembelajaran cenderung monoton
dan tidak menarik minat serta motivasi siswa. Selain itu, sumbangsih
pembelajaran matematika dari sisi materi yang diajarkan dalam pembinaan dan
penanaman sikap terpuji (akhlaq mahmudah) kepada siswa dianggap tidak ada sama
sekali. Padahal, sebenarnya jika kita mau merenung dan lebih menghayati lagi,
matematika bukanlah pelajaran yang sangat kering dan abstrak seperti yang
dibayangkan. Namun, pelajaran Matematika penuh makna di dalamnya. Makna-makna
yang terkandung dalam matematika tersebut dapat dieksplorasi lebih mendalam
sehingga berguna bagi perkembangan aspek efektif siswa. Tidak hanya kemampuan
kognitif siswa saja yang terasah, akan tetapi juga kemampuan afektif dan
psikomotoriknya.
Mengapa segala kemampuan yang dimiliki
siswa seluruhnya perlu diasah dan dikembangkan? Hal ini sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika yang terdapat pada kurikulum. Disebutkan bahwa pembelajaran
matematika bertujuan untuk melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara
sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten serta mengembangkan sikap
gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.[2]
Dengan demikian, sangat benar jika ketiga kemampuan siswa seperti kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotorik perlu seluruhnya diasah dan dikembangkan
sehingga menjadi bekal dalam kehidupan.
Dalam pembelajaran matematika, sebenarnya guru dapat
menanamkan berbagai bentuk akhlaq yang baik (akhlaq mahmudah) kepada siswa. Guru
tidak melulu mengajarkan rumus dan latihan soal-soal saja. Bentuk-bentuk akhlaq
seperti kejujuran, kegigihan, ketelitian, tanggung jawab, pantang menyerah, dan
percaya diri dapat ditanamkan guru selama proses pembelajaran matematika di dalam
kelas. Lalu, bagimanakah memunculkan bentuk-bentuk akhlaq mahmudah tersebut
dalam pembelajaran matematika? Bagaimanakah pula implementasi penanaman akhlaq
dalam pembelajaran matematika kepada siswa? Tulisan berikut akan membahas
penanaman akhlaq mahmudah kepada siswa melalui pembelajaran matematika.
B.
Pengertian Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan suatu upaya menata lingkungan baik
fisik, sosial, kultural, psikologis, dan spritual sehingga memberikan nuansa
bagi tumbuh dan berkembangnya proses belajar. Dengan kata lain, pembelajaran
bagi siswa bersifat eksternal (datang dari luar diri siswa) yang dirancang dan
direncanakan dengan sengaja. Oleh karena itu, pembelajaran diselenggarakan
dengan suatu tujuan tertentu.
Andreas Harefa menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai
tujuan membentuk karakter/watak, mendewasakan, memandirikan, memberdayakan, dan
memerdekakan.[3] Dalam konteks pembelajaran
di dalam kelas, pembelajaran tersebut tentu dimaksudkan untuk membentuk
karakter/watak, mendewasakan, memandirikan, dan memberdayakan serta
memerdekakan diri siswa.
Adapun matematika secara istilah berasal dari bahasa
latin, manthanein atau mathema yang diartikan belajar atau hal
yang dipelajari. Dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau
ilmu pasti yang berkaitan dengan penalaran. Secara lebih lengkap matematika
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bilangan-bilangan,
penalaran, berpikir logis, dan algoritma yang berguna dalam pemecahan masalah
sehari-hari.[4]
Matematika merupakan abstraksi dari dunia nyata. Secara
bahasa, abstraksi berarti proses pengabstrakan. Asbtrak berarti tidak nyata. Abstraksi
tersendiri diartikan sebagai upaya untuk menciptakan definisi dengan jalan
memusatkan perhatian pada sifat yang umum dari berbagai obyek dan mengabaikan
sifat-sifat yang berbeda. Oleh karena matematika merupakan abstraksi dunia
nyata, maka obyek kajian matematika bersifat abstrak. Meskipun demikian, obyek
matematika yang abstrak tersebut tetap dapat dipahami maknanya.[5] Jadi,
tidak serta merta obyek matematika yang berupa konsep, fakta, prinsip, dan
operasi hanya berupa simbol-simbol yang mati tanpa makna, tetapi di dalamnya
terkandung maksud dan makna yang mendalam.
Dengan demikian, pembelajaran matematika merupakan usaha
sengaja mengajarkan kepada siswa tentang ilmu matematika yang dapat membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama, termasuk juga perkembangan psikologis
dan spritualnya. Akibatnya, siswa memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu, pembelajaran tersebut dimaksudkan pula
untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah
dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel,
diagram, dan media lain.[6]
Sementara itu, pembelajaran matematika dilaksanakan di dalam kelas dengan
maksud sebagai berikut.[7]
1.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;
2.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika;
3.
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh;
4.
Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan tujuan di atas, pembelajaran matematika tidak
hanya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan kognitif yang dimiliki siswa
semata. Namun, lebih dari itu, siswa diharapkan memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan yang di antaranya adalah sikap ulet
(pantang menyerah) dan percaya diri dalam memecahkan masalah yang ditemuinya.
C. Pengertian Akhlaq Mahmudah
Secara
etimologis, akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlaq berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan
kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan), dan khalq
(penciptaan).[8]
Sementara
itu, secara terminologis, akhlaq didefinisikan sifat atau sikap yang
tertanam dalam jiwa manusia, sehingga sifat atau sikap tersebut muncul secara
spontan bila diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih
dahulu.[9]
Jadi, akhlaq merupakan sikap yang dimiliki seseorang dan sudah tertanam
di dalam dirinya dan sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan keseharian.
Andaikan sikap tersebut dibutuhkan, seseorang tidak perlu lagi mulai dari nol,
tetapi secara otomatis orang tersebut bersikap sesuai dengan keadaaan yang
ditemuinya.
Adapun
menurut istilah, mahmud atau mahmudah berarti yang terpuji.[10]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan akhlaq mahmudah adalah budi
pekerti, tingkah laku, atau sikap yang terpuji. Secara lebih lengkap, akhlaq
mahmudah dapat didefinisikan sebagai sifat atau sikap terpuji yang tertanam
dalam jiwa manusia, sehingga sifat atau sikap tersebut muncul secara spontan
bila diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu.
Dalam
konteks pembelajaran di dalam kelas, akhlaq mahmudah atau akhlak yang
terpuji merupakan sikap terpuji siswa yang diperoleh melalui pembelajaran di
dalam kelas. Jika dikaitkan dengan pelajaran Matematika, maka sikap terpuji
siswa tersebut tentu didapatkan setelah mempelajari atau mengikuti pembelajaran
matematika. Sikap ini dapat diperoleh siswa dari sikap yang diteladankan guru
ketika mengajar, atau dapat juga diperoleh dari materi yang diajarkan guru
dalam proses pembelajaran matematika.
D. Akhlaq Mahmudah dan Pembelajaran Matematika
Seperti
penjelasan sebelumnya, matematika bukanlah hanya sekedar kumpulan rumus, angka,
dan simbol saja, tetapi terdapat makna di dalamnya. Guru sebagai fasilitator
dalam pembelajaran selayaknya dapat mengeksplorasi dan menyampaikan makna-makna
yang terdapat pada matematika kepada para siswanya. Langkah kreatif dan
inovatif guru tersebut seharusnya bisa menjadi bahan untuk menanamkan sikap
atau akhlaq dalam setiap pembelajaran di dalam kelas.
Meskipun demikian, guru harus mengetahui beberapa
sikap terpuji yang dapat diperoleh dalam proses pembelajaran matematika. Di
antara sikap terpuji yang diperoleh sebagai dampak positif dalam pembelajaran
matematika di dalam kelas adalah sebagai berikut.[11]
- Sikap Teliti, Cermat, dan Hemat
Pada penjelasan hakikat matematika di depan,
matematika mempunyai nama lain yaitu ilmu hitung. Disebut demikian karena pada
hakikatnya matematika banyak bersinggungan dengan masalah hitung-menghitung. Materi
hitung-menghitung ini berkaitan erat dengan obyek matematika yang berupa
pengerjaan operasi hitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian, termasuk juga perpangkatan dan penarikan akar. Materi ini tidak
hanya diajarkan di kelas dasar, seperti Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI), tetapi juga sekolah menengah (SMP/MTs dan SMA/MA) dan
perguruan tinggi (PT). Sehingga sangat wajar jika dalam proses pembelajarannya
diperlukan kemampuan atau sikap siswa guna memaksimalkan hasil pembelajaran.
Dalam proses pengerjaan operasi hitung, maka siswa
dituntut memiliki kemampuan atau sikap teliti, cermat, hemat, cepat, dan tepat.
Saat menyelesaikan soal matematika, siswa seharusnya dituntut untuk mengerjakan
dengan teliti dan cermat. Bukan hanya hasil akhir yang benar, tetapi juga
proses penyelesaian yang benar. Dengan arti lain, langkah demi langkah pengerjaan
soal tidak boleh salah. Siswa harus benar penyelesaiannya. Langkah demi langkah
ini harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Setelah pada tahap akhir, yakni
penemuan hasil atau jawaban soal, selayaknya siswa tidak terus puas dengan
hasil yang diperoleh tersebut. Siswa harus mengecek lagi kebenaran dan ketepatan
jawaban tersebut, baik pertanyaan yang dimaksud dari soal maupun
langkah-langkah untuk memperoleh jawaban. Dengan demikian, pada intinya,
matematika mengajarkan pada diri siswa untuk senantiasa jeli dan berhati-hati
dalam melangkah, tidak tergesa-gesa dan berusaha mengikuti prosedur
penyelesaian soal (algoritma) yang tepat.
Selain sikap terpuji tersebut, matematika juga melatih
seseorang (siswa) bersikap hemat atau tidak boros. Hal ini bisa dilihat dari
sikap yang dimiliki oleh seseorang yang notabene mempelajari atau
mengusai bidang eksakta terutama matematika. Ketika mereka bertindak dan
berbicara sebagian besar cenderung to the point alias langsung
kesasaran, tidak bertele-tele. Untuk menjelaskan sesesuatu, tidak terlalu
banyak kata atau kalimat pengantar yang terlalu panjang. Demikian juga ketika
bertindak, selayaknya orang yang belajar matematika dapat melakukan sesuatu
pekerjaan dengan cepat dan hasil yang baik. Tidak seharusnya melakukan suatu
pekerjaan dengan lambat apalagi dengan hasil yang tidak optimal. Kemungkinan
besar jika kita bekerja dengan demikian, pekerjaan yang kita peroleh dapat
didelagasikan kepada orang lain yang lebih baik daripada kita. Oleh karena itu,
seharusnya seorang siswa yang belajar matematika dapat bersikap lebih hemat
dalam hal apa pun, seperti hemat tenaga, waktu, dan biaya.
Sikap hemat juga dapat muncul dalam pembelajaran
matematika ketika menggunakan simbol. Simbol digunakan sebagai alat komunikasi
dalam matematika. Misalnya, untuk menyatakan “unsur x merupakan anggota
himpunan A” digunakan simbol “x A” atau ingin menyatakan “f adalah fungsi dari
himpunan A ke himpunan B” digunakan simbol pemetaan fungsi yaitu
“f : A B”. Pendapat Hudoyo yang dikutip Abdusyakir, menyatakan
bahwa simbol bermanfaat untuk penghematan intelektual, karena simbol dapat
mengkomunikasikan ide secara efektif dan efisien.[12]
Jadi, secara tidak langsung, penggunaan simbol mengajarkan kepada kita untuk
menyederhanakan pengungkapan kata atau kalimat, bahkan menyederhanakan
permasalahan.
Orang yang telah belajar matematika dan menjiwainya
dengan baik dapat bersikap sederhana dan simpel. Hanya saja sikap ini terkadang
dimaknai dengan kaku. Bersikap hemat dalam situasi dan kondisi yang benar
merupakan akhlaq mahmudah (akhlaq terpuji), tetapi berhemat pada
situasi dan kondisi yang tidak tepat (salah) merupakan kekakuan. Sikap
kontraproduktif seperti ini harus dijauhkan oleh siswa yang belajar matematika.
Tidak boleh kaku dan seenaknya sendiri melanggar aturan yang telah digariskan.
Contoh
di bawah ini merupakan salah satu sikap kekakuan yang dapat dilakukan oleh
siswa atau seseorang yang belajar matematika. Misalnya saja terdapat segitiga
siku-siku ABC. Panjang sisi miringnya (hipotenusa) adalah AC atau
c. Panjang dua sisi siku-siku masing-masing AB atau a dan BC
atau b seperti pada gambar berikut.
Gambar 1 Segitiga
siku-siku ABC
Berdasarkan gambar segitiga siku-siku tersebut, kita
tahu bahwa:
a + b > c
Hal ini berarti bahwa jarak dari A menuju C yang melalui B
akan selalu lebih panjang dibandingkan jarak dari A ke C langsung.
Andaikan saja terdapat seorang ahli matematika yang ingin melalui suatu taman
berbentuk persegi panjang yang ditanami rumput dan rumput tersebut tidak boleh
diinjak seperti gambar berikut.
Gambar 2 Suatu taman berbentuk persegi panjang
Misalnya si ahli matematika tersebut berdiri di titik P.
Ia ingin menuju Q. Sebagai orang yang sangat paham tentang teori
matematika, ia akan berpikir bahwa jarak terpendek dari P menuju Q
adalah melalui garis lurus yang menghubungkan P dan Q. Ia akan
merasa berhemat jika ia melalui garis lurus tersebut. Perhatikan ilustrasi
garis yang ia lalui pada gambar berikut.
Gambar 3 Jarak terpendek dari P ke Q
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
rumput taman tersebut tidak boleh diinjak oleh siapapun. Kalau si ahli
matematika tetap melalui garis lurus tersebut karena ia beranggapan bahwa garis
lurus tersebut adalah jarak terpendek untuk mencapai tujuannya, maka itulah
yang dinamakan kekakuan. Seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan, sebab
seseorang tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ia tidak
boleh melanggar aturan yang telah ditentukan. Dengan demikian, aturan yang
terdapat pada matematika harus dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku dalam
kehidupan sosial.
Ketika menyelesaikan suatu permasalahan matematika,
hal yang dijadikan tujuan adalah menemukan solusi atau penyelesaian dari
permasalahan tersebut. Meskipun begitu, solusi atau penyelesaian tersebut bukanlah
tujuan yang utama. Justru yang seringkali terlupakan tetapi penting adalah cara
mencari solusi permasalahan tersebut. Cara yang tepat dan cepat adalah tujuan
yang utama. Cara yang tercepat berarti cara yang memiliki langkah-langkah
paling hemat yakni bersifat efektif dan efisien.
Sebagai contoh terkait hal ini adalah soal berikut.
Selesaikanlah hasil perkalian 125 x 75!
Seorang siswa barangkali akan menjawab dengan cara berikut.
125
75 x
625
875
+
9375
Seorang siswa mungkin saja ada yang
menjawab dengan cara berikut.
125
x 75 = 10000 – 625 = 9375
Cara kedua merupakan cara tercepat dan tepat. Siswa
tersebut menghitung dengan cara yang hemat. Ia menggunakan rumus
(a
+ b)(a – b) = a2 – b2
Siswa yang mengerjakan cara tersebut mengetahui bahwa
125 = 100 + 25
75 = 100 – 25
Jadi, 125 x 75 = (100 + 25)(100 –
25) = 1002 – 252 = 10000 – 625 = 9375.
Demikianlah cara matematika mengajarkan untuk
berhemat. Kita dapat menganalogikan seperti berikut: menyelesaikan permasalahan
matematika dengan definisi seperti berjalan kaki, sedangkan menyelesaikan
permasalahan melalui teorema seperti naik kendaraan bermotor. Oleh karena itu,
selayaknya guru mengetahui makna-makna dalam matematika, dan selanjutnya
disampaikan kepada siswa sehingga kesan matematika tidak hidup akan hilang seketika.
- Sikap Jujur, Tegas, dan Bertanggung Jawab
Matematika mengajarkan pula bentuk akhlaq mahmudah yang
lain. Sikap jujur, tegas, dan bertanggung jawab juga dapat kita peroleh dalam
pembelajaran matematika. Misalnya, seorang guru memberikan soal tentang
menemukan hasil pembagian bilangan bulat dari 42 : 7. Jika guru tersebut
meminta seorang siswanya maju ke depan untuk menyelesaikan soal tersebut, maka
siswa tersebut harus bersikap jujur. Jujur yang dimaksud yakni andaikan ia
tidak mampu menyelesaikan soal tersebut, maka ia harus jujur untuk mengatakan
tidak bisa. Jika si siswa tetap mengatakan bisa padahal ia tidak bisa, maka ia
akan ketahuan bahwa tidak bisa. Ia akan ketahuan kalau tidak jujur dan tentu
akan menjadi malu dengan siswa yang lain karena ia tidak mampu menyelesaikan
soal tersebut meski mudah. Oleh karena itu, berkata dan bertindak jujur itu
lebih baik meskipun sebenarnya pahit.
Adapun yang dimaksud sikap tegas dalam pembelajaran
matematika adalah mengatakan jawaban soal yang sebenarnya. Misalnya untuk soal
di atas yaitu hasil pembagian bilangan bulat dari 42 : 7. Seorang siswa yang
menjawab harus tegas mengatakan bahwa hasil pembagian 42 : 7 = 6 adalah benar.
Kemudian, jika hasilnya bukan 6 maka harus tegas dikatakan bahwa jawaban
tersebut salah. Tidak ada dua jawaban dalam matematika yang mengatakan benar
sekaligus salah, separuh benar, separuh salah, atau benar sedikit dan
sebagainya. Jadi, matematika mengajarkan kepada kita tentang sikap tegas, yaitu
berkata benar jika memang benar dan berkata salah jika memang salah.
Dalam pembelajaran matematika, kita juga diajarkan
sikap bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat ketika kita melakukan pembuktian
teorema matematika. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuktian matematika
harus berdasarkan pada definisi atau sifat yang sudah diakui kebenarannya.
Langkah demi langkah tersebut harus memiliki alasan kuat dan benar. Oleh karena
itu, setiap langkah yang dilakukan harus selalu dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, tentu hal ini sangat diperlukan. Setiap perkataan,
keinginan, dan perbuatan harus dapat dipertanggung jawabkan dan berpijak pada
sumber yang benar. Lalu, apakah sumber yang benar tersebut? Sebagai seorang
muslim, sumber yang benar itu adalah al-Quran dan hadits. Semua perbuatan yang
kita lakukan harus ada dasarnya dalam al-Quran dan hadits. Kita tidak boleh
membuat suatu perbuatan yang kita akui sendiri kebenarannya. Hal ini tentu
berbahaya, karena akan membawa diri kita menuju kesyirikan dan kekufuran.
Selayaknya orang yang belajar matematika juga dapat
bersikap demikian. Ia mampu menarik makna dari setiap pembelajaran yang
dilakukan. Tidak sekedar simbol dan angka saja, tetapi lebih dari itu yakni
mendapatkan pencerahan dari yang dipelajarinya.
- Sikap Pantang Menyerah dan Percaya Diri
Pada uraian sebelumnya tentang tujuan pembelajaran
matematika dijelaskan bahwa salah satu tujuannya adalah siswa memiliki sikap
ulet (pantang menyerah) dan percaya diri. Hal ini memang tidak salah, sebab
sikap pantang menyerah dapat diwujudkan dalam pembelajaran yakni misalnya
ketika siswa menyelesaikan soal. Ketika menyelesaikan soal, siswa tidak boleh
menyerah bila belum bisa menyelesaikan soal tersebut dengan sebuah cara. Tentu
ia dapat mencari cara lain yang lebih mudah untuk menyelesaikan soal tersebut.
Kita harus percaya diri bahwa kita mampu menyelesaikan soal dengan baik dan
benar. Kita tidak boleh lelah untuk mencoba hingga diperoleh jawaban yang
benar. Ketika jawaban yang kita inginkan ketemu maka akan muncul rasa puas dan
bangga yang luar biasa. Keadaaan seperti ini akan membuat kita menjadi semangat
belajar matematika.
Dalam kehidupan, sikap pantang menyerah atau tidak
mudah berputus asa dan percaya diri sangat diperlukan. Sikap tersebut sangat
dianjurkan dan diperintahkan dalam al-Quran. Ketika kita mendapatkan masalah,
jangan mudah putus asa seakan-akan masalah tersebut tidak dapat dipecahkan.
Jangan bersikap apatis, tetapi bersikaplah dengan optimis dan berpikir positif.
Putus asa merupakan sikap orang kafir yang harus dihindari. Kita harus yakin
dan percaya diri bahwa rahmat Allah dan hikmah masalah tersebut akan memberikan
kenyamanan dan ketenangan dalam hati. Sikap optimis bahwa rahmat Allah selalu
menyertai akan menghasilkan sikap sabar dan tawakkal.
Q. S. Al Ankabut (29): 23
úïÏ%©!$#ur (#rãxÿx.
ÏM»t$t«Î/ «!$# ÿ¾Ïmͬ!$s)Ï9ur y7Í´¯»s9'ré& (#qݡͳt `ÏB ÓÉLyJôm§
y7Í´¯»s9'ré&ur öNçlm; ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇËÌÈ
Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan
Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.
Q. S. Yusuf
(12): 87
¢ÓÍ_t7»t
(#qç7ydø$# (#qÝ¡¡¡ystFsù
`ÏB y#ßqã ÏmÅzr&ur wur
(#qÝ¡t«÷($s?
`ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) w ߧt«÷($t `ÏB Çy÷r§ «!$# wÎ)
ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÑÐÈ
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Kemudian
juga Q. S. Az Zumar (39): 53
ö@è% yÏ$t7Ïè»t
tûïÏ%©!$#
(#qèùuó r& #n?tã öNÎgÅ¡àÿRr& w (#qäÜuZø)s? `ÏB ÏpuH÷q§ «!$#
4
¨bÎ) ©!$#
ãÏÿøót z>qçR%!$# $·èÏHsd 4 ¼çm¯RÎ) uqèd âqàÿtóø9$# ãLìÏm§9$# ÇÎÌÈ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa kita tidak boleh
berputus asa dari rahmat Allah, tidak boleh terlalu banyak berkeluh kesah, dan
sikap negatif yang lain. Demikian pula dalam pembelajaran matematika, ketika
kita berposisi sebagai siswa, sikap pantang menyerah dan percaya diri dalam
menyelesaikan soal matematika harus selalu tertanam dalam diri. Tidak ada kata
menyerah sebelum penyelesaian dari soal ditemukan dan benar secara logis-matematis.
- Sikap Bekerja Sama dan Gotong Royong
Sikap positif yang merupakan cerminan dari akhlaq
mahmudah adalah sikap bekerja sama dan gotong royong. Sikap ini dapat
terpupuk dalam pembelajaran matematika saat menemukan permasalahan dan akan
dicari solusinya. Misalnya saja ketika dalam pembelajaran matematika di dalam
kelas guru memberikan beberapa soal matematika yang harus diselesaikan. Guru meminta
siswa untuk berpasangan atau berkelompok. Mereka diminta guru untuk berdiskusi
terkait solusi yang tepat dan benar dari soal yang diberikan. Tentu siswa akan
berusaha untuk memaksimalkan anggota kelompok yang ada. Setiap anggota akan
bekerja sama dan bergotong royong untuk menyumbangkan ide penyelesaian soal.
Andaikan ide antara satu siswa dengan siswa yang lain dalam satu kelompok
terjadi perbedaan, maka ide tersebut dapat dikonsultasikan pada anggota lainnya
dalam satu kelompok. Solusi soal tersebut adalah solusi kelompok bukan
perseorangan, sehingga jawaban tersebut merupakan jawaban akhir yang dianggap
benar dan tepat oleh kelompok. Meskipun hasilnya belum tentu benar secara
matematis seperti yang diinginkan, tetapi setidaknya siswa dalam satu kelompok
telah mengerahkan segenap ide dan pikirannya untuk menyelesaikan soal tersebut.
Dengan demikian, kebenaran solusi yang diperoleh merupakan kebenaran solusi
kelompok yang masih perlu didiskusikan dengan kelompok lain atau guru di kelas.
Meskipun begitu, siswa telah belajar mengembangkan sikap saling bekerja sama
dan bergotong royong untuk menyelesaikan pemecahan dari permasalahan
matematika. Keadaan ini memang tidak boleh diterapkan ketika siswa melakukan
ulangan harian atau ujian akhir sekolah, karena bukan sikap kerja sama dan
gotong royong yang akan dievaluasi/dinilai saat itu tetapi kemampuan individu
setiap siswa.
Sikap kerja sama dan gotong royong dalam kehidupan
sehari-hari merupakan sikap yang sangat positif. Ketika terjun di masyarakat
atau berkehidupan sosial kemasyarakat sikap seperti ini menjadi sikap yang tidak
bisa dihindarkan. Misalnya saat membangun jalan setapak di lingkungan RT atau
kelurahan setempat, warga yang tinggal di RT atau kelurahan tersebut tentu akan
bekerja sama dan bergotong royong untuk mewujudkan pembangunan tersebut. Mereka
kemungkinan akan memberikan sumbangsih yang berbeda sesuai kebutuhan. Barangkali
ada yang menjadi donatur untuk pengadaan bahan bangunan seperti pasir, semen,
dan batu bata. Kemudian ada juga yang memberikan sumbangan tenaga dan pikiran
untuk mewujudkan hasil jalan yang baik dan tidak mudah rusak, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, hasil yang diinginkan yakni berupa jalan dapat
dibangun dengan hasil yang memuaskan.
Penjelesan di atas merupakan beberapa bentuk sikap
terpuji atau akhlaq mahmudah yang dapat ditemukan dalam pembelajaran
matematika. Sebenarnya masih banyak bentuk sikap terpuji lainnya yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran, seperti tolong menolong, saling menghargai
(toleransi), dan selalu memberikan hasil yang terbaik dalam setiap pekerjaan.
Oleh karena itu, jika kita bertugas sebagai guru maka selayaknya bentuk sikap
terpuji yang merupakan cerminan dari akhlaq mahmudah tersebut dapat
ditanamkan dalam siswa dalam pembelajaran di dalam kelas.
E.
Menanamkan Akhlaq Mahmudah pada Siswa
melalui Pembelajaran Matematika
Tidak salah jika guru melakukan penanaman akhlaq atau
sikap terpuji kepada siswa dalam setiap pembelajaran matematika, sebab
penanaman akhlaq atau sikap tersebut memang adalah tugas utama guru di
samping mengajarkan materi pelajaran. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan
pembelajaran matematika yang disebutkan dalam kurikulum saat ini, yaitu memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, seperti memiliki rasa
ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan masalah.[13]
Penanaman sikap seperti yang dikehendaki tujuan tersebut tentu tidak mudah.
Pasti akan terkendala dengan berbagai hal yang dapat menyulitkan proses
implementasinya dalam pembelajaran di kelas. Meskipun begitu, sebagai seorang
pengajar sekaligus pendidik dalam bidang matematika, guru tidak boleh bersikap
pantang menyerah. Guru dapat menanamkan berbagai bentuk sikap terpuji tersebut
sedikit demi sedikit dan dapat melalui sarana antara lain sebagai berikut.
1.
Bahan materi yang diajarkan oleh guru
Seperti penjelasan di depan, penanaman sikap terpuji
dapat dilakukan guru ketika melaksanakan pembelajaran di dalam kelas. Ketika
guru menjelaskan sebuah materi atau konsep matematika guru dapat mengajak siswa
untuk merenung bersama dari makna yang terkandung dalam definisi, fakta,
prinsip, dan operasi matematika. Guru harus pandai mengaitkan obyek yang
abstrak tersebut dengan sikap terpuji yang harus dimiliki siswa untuk bekal
mereka dalam kehidupan kesehaarian. Misalnya, adanya sikap hemat, cermat, dan
teliti dalam menyelesaikan soal matematika. Pada saat membahas soal tersebut,
guru dapat memberikan selingan dengan menanamkan beragam sikap terpuji tersebut.
Alhasil, tidak hanya kemampuan kognitif saja yang terasah, tetapi juga
kemampuan afektifnya. Akan tetapi, guru juga perlu memberikan pengarahan
tentang sikap negatif yang muncul karena salah tafsir terkait nilai yang
terdapat pada matematika. Setidaknya siswa mengetahui mana sikap yang harus
diteladani dan mana pula sikap yang harus dihindari.
Selanjutnya hal ini juga akan berdampak positif dalam
diri siswa terkait sikap-sikap terpuji yang secara tidak langsung mewarnai
dalam setiap pembelajaran matematika. Mereka akan berpikir bahwa matematika
ternyata bukanlah tanpa arti dan makna. Matematika mempunyai nilai-nilai
positif yang dapat diteladani. Pada gilirannya, siswa akan memiliki minat dan
motivasi positif untuk belajar matematika sehingga prestasi belajarnya pun akan
semakin meningkat.
2.
Penyampaian guru secara langsung pentingnya akhlaq
mahmudah
Penanaman akhlaq mahmudah dalam pembelajaran
matematika dapat dilakukan guru secara langsung tidak berdasarkan pada bahan
materi yang sedang diajarkan. Maksudnya, guru dapat berceramah tentang pentingnya
akhlaq mahmudah di depan siswa-siswanya. Hal ini memang suatu keadaaan
yang sering dilakukan guru bidang studi mana pun, tidak terkecuali guru
matematika. Biasanya hal ini dilakukan setelah guru menjelaskan materi, atau
juga ketika guru melihat siswanya ada yang sedang berbuat tidak terpuji seperti
menyontek, atau juga ketika guru memang benar-benar ingin memberikan wejangan
yang penting terkait akhlaq kepada siswa-siswanya.
Cara seperti ini memang cara yang biasa dilakukan oleh
guru. Hanya saja terkadang membuat siswa menjadi bosan. Mereka merasa
diceramahi oleh gurunya sehingga guru dianggap seorang ustadz yang ceramahnya
seringkali mereka dengar. Walhasil, siswa pun merasa jenuh dan motivasi untuk
belajarnya tidak meningkat, justru sebaliknya menurun. Meskipun begitu, tidak
siswa bersikap demikian. Apalagi jika guru yang memberikan pencerahan kepada
mereka adalah guru yang sangat mereka banggakan karena kepandaiannya dan
kenyamanannya ketika menyampaikan materi di depan kelas, mereka akan tetap
mendengarkan dan melaksanakan anjuran guru tersebut dengan ikhlas. Sehingga
mereka pun tetap termotivasi untuk mengikuti pembelajaran matematika dengan
baik.
3.
Metode pembelajaran yang digunakan guru
Penanaman sikap terpuji juga dapat melalui metode
pembelajaran matematika di dalam kelas. Misalnya guru ingin menumbuhkan
sekaligus menanamkan sikap kerja sama dan gotong royong di antara siswa. Guru
dapat menggunakan metode pembelajaran kooperatif (kooperatif learning). Dalam
metode pembelajaran kooperatif, siswa akan melakukan kerja sama untuk mencapai
hasil pembelajaran yang diinginkan. Siswa pandai tidak hanya berkumpul dengan
siswa yang pandai saja dan juga siswa yang tidak pandai dengan siswa yang tidak
pandai, tetapi bercampur menjadi satu kelompok. Siswa pandai berkumpul bersama
dengan siswa yang tidak pandai. Diharapkan mereka dapat bekerja sama, yaitu
siswa yang pandai membimbing siswa yang tidak pandai dan bersama-sama mencapai
tujuan kelompok.
Dalam proses pembelajaran seperti ini, guru memang
harus pandai mengatur keteraturan dan urutan-urutan (sintaks)
pembelajaran. Tanpa hal itu, dikhawatirkan tujuan yang diinginkan guru tidak
tercapai secara optimal. Mungkin saja siswa yang pandai tidak ingin membimbing
siswa yang tidak pandai, sehingga hanya siswa yang pandai saja yang memahami
materi yang mereka pelajari. Oleh karena itu, guru dapat menggunakan beberapa
tipe pembelajaran kooperatif (cooperative learning), seperti TGT (Teams
Game Tournament), TAI (Teams Assisted Individualitation),
ataupun STAD (Students Teams-Achievment Division), dan masih
banyak lagi yang lain.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, tugas guru memang
bukan hanya mengasah kemampuan kognitif siswa saja, tetapi juga kemampuan
psikomotorik dan lebih-lebih kemampuan afektif. Matematika yang selama ini
dipandang obyek kajiannya abstrak sebenarnya dapat dieksplorasi sisi afektifnya
yakni melalui pemberian makna yang ada di dalam definisi, fakta, prinsip, dan
operasi matematika. Akhlaq mahmudah atau sikap terpuji yang dapat
diberikan kepada siswa dalam pembelajaran matematika terkait obyek matematika
tersebut adalah sikap-sikap terpuji seperti sikap kejujuran,
kegigihan, ketelitian, tanggung jawab, pantang menyerah, dan percaya diri.
Sementara itu, proses penanaman berbagai bentuk sikap tersebut dapat melalui
berbagai cara, antara lain melalui penyampaian materi bahan ajar (makna
pembelajaran matematika), penyampaian secara langsung, dan metode pembelajaran
yang digunakan oleh guru.
Setelah mengetahui sisi-sisi
afektif yang terdapat dalam pembelajaran matematika, diharapkan guru dapat
mengimplementasikan sikap-sikap tersebut dengan keteladanan sehingga juga dapat
dengan mudah tertanam dalam diri siswa. Guru tidak hanya sekedar mampu
menyampaikan, tetapi benar-benar dapat menjadi role model dari para
siswanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdusyakir. 2007. Ketika Kyai Mengajar Matematika.
Malang: UIN-Malang Press.
Harefa, Andreas. 2003. Menjadi
Manusia Pembelajar (On Becoming A Learner); Pemberdayaan Diri, Transformasi
Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. Jakarta: Kompas.
Ilyas, Yunahar. 2005. Kuliah
Akhlaq. Yogyakarta: LPPI.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Istilah Populer.
Surabaya: Arkaloka.
Permendiknas RI No 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Pusat Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Matematika
Mata Pelajaran Matematika SD & MI. Jakarta: Depdiknas.
Suherman, Erman dan Udin S. Winaputra. 2003. Materi Pokok: Strategi
Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
أrtikel
ilmiah yang diterbitkan di jurnal ilmiah PGMI (Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah) Al Bidayah, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2009/2010
[1] Pusat Kurikulum, Kurikulum 2004: Standar Kompetensi
Matematika Mata Pelajaran Matematika SD & MI. (Jakarta: Depdiknas, 2003), hlm. 6.
[3] Andreas Harefa, Menjadi Manusia
Pembelajar (On Becoming A Learner); Pemberdayaan Diri, Transformasi
Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 63.
[4]
Erman Suherman dan Udin S. Winaputra, Materi
Pokok: Strategi Pembelajaran Matematika. (Jakarta: Universitas Terbuka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 119.
[5] Abdusyakir, Ketika Kyai Mengajar
Matematika. (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 7.
[6]
Permendiknas RI No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah.(Jakarta: Depdiknas, 2006), hlm. 416.
[8] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq.
(Yogyakarta: LPPI, 2005), hlm. 1.
[10] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus
Istilah Populer, (Surabaya: Arkaloka, 1994), hlm. 427.
[11] Abdusyakir,Ketika Kyai …,
hlm. 70-75.
[13] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar