Jumat, 28 Desember 2012

MENANAMKAN AKHLAQ MAHMUDAH KEPADA SISWA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Oleh:
Abdul Aziz Saefudin

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk memaparkan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menanamkan akhlaq mahmudah kepada siswa dalam pembelajaran matematika. Matematika yang memiliki obyek kajian yang abstrak seringkali menjadi kendala tersendiri bagi guru untuk mengembangkan kemampuan afektif siswa. Padahal sebenarnya dalam pembelajaran matematika, guru dapat mengembangkan dan menanamkan berbagai bentuk sikap positif seperti kejujuran, ketelitian, hemat, percaya diri, bertanggung jawab, kerja sama dan gotong royong. Proses penanaman berbagai bentuk akhlaq tersebut juga dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui bahan materi matematika yang sedang disampaikan guru atau pemberian makna (sikap terpuji) dalam obyek kajian matematika, kemudian guru menyampaikan bentuk akhlak mahmudah secara langsung kepada siswa, dan juga dapat melalui penggunaan metode pembelajaran matematika di dalam kelas.

Keyword (kata kunci): akhlaq mahmudah, matematika, pembelajaran matematika

A.    Pendahuluan
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.[1] Dengan fungsi yang demikian, matematika lebih banyak menekankan kemampuan logis matematis siswa saja. Hal ini memang tidak terlepas dari sifat matematika sendiri yang eksak dan cara memperoleh pengetahuannya yang berdasar pada cara berpikir deduktif dan induktif. Oleh karena itu, tidak salah jika dalam proses pembelajarannya, guru seringkali lebih banyak membelajarkan matematika kepada siswa dalam bentuk materi pelajaran yang berupa konsep atau definisi, prinsip, fakta, dan operasi matematika saja. Dengan arti lain, guru hanya mengasah aspek kognitif siswa saja. Padahal, seharusnya guru tidak hanya mengasah satu aspek tersebut, tetapi juga perlu memerhatikan aspek-aspek yang lain seperti aspek afektif dan psikomotorik.
Dalam proses pembelajaran matematika, guru seringkali beralasan bahwa untuk mengasah aspek afektif dan psikomotorik tidaklah mudah. Aspek yang terakhir yakni aspek psikomotorik mungkin bisa diasah, tetapi terkendala jam pelajaran matematika di kelas yang tidak banyak. Mereka menganggap bahwa memberikan materi dan drill soal lebih bermanfaat dibandingkan melatih kemampuan psikomotorik siswa. Namun, hal itu juga diperlakukan sama untuk aspek afektif siswa. Selama ini guru cenderung merasa terkendala untuk menginterpretasikan dan mengimplementasikan aspek afektif siswa dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Apalagi jika dihadapkan dengan penilaian afektif siswa dalam proses pembelajaran matematika, hal itu dianggap sulit untuk dilakukan. Alih-alih untuk menanamkan nilai-nilai afektif kepada siswa di dalam kelas, tentu tidaklah mudah. Dengan demikian, perlu pemahaman guru yang mendalam terkait hakikat matematika dan hubungannya dengan proses pembelajarannya di dalam kelas.
Jika merunut pada masalah tersebut, maka sangat wajar matematika sebagai mata pelajaran dianggap tidak memberikan nilai-nilai yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang membahas konsep-konsep abstrak semata, seperti berhitung, rumus, dan latihan soal. Bagi siswa dan kemungkinan juga guru, matematika dianggap hanya membahas rumus dan soal-soal saja. Tidak ada nilai (aspek afektif) yang bisa ditanamkan guru kepada siswa. Oleh karena itu, kesan kering dan membosankan dalam pembelajaran matematika sangat sulit dihindari. Pembelajaran cenderung monoton dan tidak menarik minat serta motivasi siswa. Selain itu, sumbangsih pembelajaran matematika dari sisi materi yang diajarkan dalam pembinaan dan penanaman sikap terpuji (akhlaq mahmudah) kepada siswa dianggap tidak ada sama sekali. Padahal, sebenarnya jika kita mau merenung dan lebih menghayati lagi, matematika bukanlah pelajaran yang sangat kering dan abstrak seperti yang dibayangkan. Namun, pelajaran Matematika penuh makna di dalamnya. Makna-makna yang terkandung dalam matematika tersebut dapat dieksplorasi lebih mendalam sehingga berguna bagi perkembangan aspek efektif siswa. Tidak hanya kemampuan kognitif siswa saja yang terasah, akan tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotoriknya.
Mengapa segala kemampuan yang dimiliki siswa seluruhnya perlu diasah dan dikembangkan? Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yang terdapat pada kurikulum. Disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan untuk melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.[2] Dengan demikian, sangat benar jika ketiga kemampuan siswa seperti kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik perlu seluruhnya diasah dan dikembangkan sehingga menjadi bekal dalam kehidupan.
Dalam pembelajaran matematika, sebenarnya guru dapat menanamkan berbagai bentuk akhlaq yang baik (akhlaq mahmudah) kepada siswa. Guru tidak melulu mengajarkan rumus dan latihan soal-soal saja. Bentuk-bentuk akhlaq seperti kejujuran, kegigihan, ketelitian, tanggung jawab, pantang menyerah, dan percaya diri dapat ditanamkan guru selama proses pembelajaran matematika di dalam kelas. Lalu, bagimanakah memunculkan bentuk-bentuk akhlaq mahmudah tersebut dalam pembelajaran matematika? Bagaimanakah pula implementasi penanaman akhlaq dalam pembelajaran matematika kepada siswa? Tulisan berikut akan membahas penanaman akhlaq mahmudah kepada siswa melalui pembelajaran matematika.

B.     Pengertian Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan suatu upaya menata lingkungan baik fisik, sosial, kultural, psikologis, dan spritual sehingga memberikan nuansa bagi tumbuh dan berkembangnya proses belajar. Dengan kata lain, pembelajaran bagi siswa bersifat eksternal (datang dari luar diri siswa) yang dirancang dan direncanakan dengan sengaja. Oleh karena itu, pembelajaran diselenggarakan dengan suatu tujuan tertentu.
Andreas Harefa menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai tujuan membentuk karakter/watak, mendewasakan, memandirikan, memberdayakan, dan memerdekakan.[3] Dalam konteks pembelajaran di dalam kelas, pembelajaran tersebut tentu dimaksudkan untuk membentuk karakter/watak, mendewasakan, memandirikan, dan memberdayakan serta memerdekakan diri siswa.
Adapun matematika secara istilah berasal dari bahasa latin, manthanein atau mathema yang diartikan belajar atau hal yang dipelajari. Dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti yang berkaitan dengan penalaran. Secara lebih lengkap matematika dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bilangan-bilangan, penalaran, berpikir logis, dan algoritma yang berguna dalam pemecahan masalah sehari-hari.[4]
Matematika merupakan abstraksi dari dunia nyata. Secara bahasa, abstraksi berarti proses pengabstrakan. Asbtrak berarti tidak nyata. Abstraksi tersendiri diartikan sebagai upaya untuk menciptakan definisi dengan jalan memusatkan perhatian pada sifat yang umum dari berbagai obyek dan mengabaikan sifat-sifat yang berbeda. Oleh karena matematika merupakan abstraksi dunia nyata, maka obyek kajian matematika bersifat abstrak. Meskipun demikian, obyek matematika yang abstrak tersebut tetap dapat dipahami maknanya.[5] Jadi, tidak serta merta obyek matematika yang berupa konsep, fakta, prinsip, dan operasi hanya berupa simbol-simbol yang mati tanpa makna, tetapi di dalamnya terkandung maksud dan makna yang mendalam.
Dengan demikian, pembelajaran matematika merupakan usaha sengaja mengajarkan kepada siswa tentang ilmu matematika yang dapat membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama, termasuk juga perkembangan psikologis dan spritualnya. Akibatnya, siswa memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu, pembelajaran tersebut dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.[6]
Sementara itu, pembelajaran matematika dilaksanakan di dalam kelas dengan maksud sebagai berikut.[7]
1.      Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;
2.      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan  matematika;
3.      Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
4.      Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5.      Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan tujuan di atas, pembelajaran matematika tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan kognitif yang dimiliki siswa semata. Namun, lebih dari itu, siswa diharapkan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yang di antaranya adalah sikap ulet (pantang menyerah) dan percaya diri dalam memecahkan masalah yang ditemuinya.

C.    Pengertian Akhlaq Mahmudah
Secara etimologis, akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlaq berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan), dan khalq (penciptaan).[8]
Sementara itu, secara terminologis, akhlaq didefinisikan sifat atau sikap yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga sifat atau sikap tersebut muncul secara spontan bila diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu.[9] Jadi, akhlaq merupakan sikap yang dimiliki seseorang dan sudah tertanam di dalam dirinya dan sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan keseharian. Andaikan sikap tersebut dibutuhkan, seseorang tidak perlu lagi mulai dari nol, tetapi secara otomatis orang tersebut bersikap sesuai dengan keadaaan yang ditemuinya.
Adapun menurut istilah, mahmud atau mahmudah berarti yang terpuji.[10] Dengan demikian, yang dimaksud dengan akhlaq mahmudah adalah budi pekerti, tingkah laku, atau sikap yang terpuji. Secara lebih lengkap, akhlaq mahmudah dapat didefinisikan sebagai sifat atau sikap terpuji yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga sifat atau sikap tersebut muncul secara spontan bila diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu.
Dalam konteks pembelajaran di dalam kelas, akhlaq mahmudah atau akhlak yang terpuji merupakan sikap terpuji siswa yang diperoleh melalui pembelajaran di dalam kelas. Jika dikaitkan dengan pelajaran Matematika, maka sikap terpuji siswa tersebut tentu didapatkan setelah mempelajari atau mengikuti pembelajaran matematika. Sikap ini dapat diperoleh siswa dari sikap yang diteladankan guru ketika mengajar, atau dapat juga diperoleh dari materi yang diajarkan guru dalam proses pembelajaran matematika.

D.    Akhlaq Mahmudah dan Pembelajaran Matematika
Seperti penjelasan sebelumnya, matematika bukanlah hanya sekedar kumpulan rumus, angka, dan simbol saja, tetapi terdapat makna di dalamnya. Guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran selayaknya dapat mengeksplorasi dan menyampaikan makna-makna yang terdapat pada matematika kepada para siswanya. Langkah kreatif dan inovatif guru tersebut seharusnya bisa menjadi bahan untuk menanamkan sikap atau akhlaq dalam setiap pembelajaran di dalam kelas.
Meskipun demikian, guru harus mengetahui beberapa sikap terpuji yang dapat diperoleh dalam proses pembelajaran matematika. Di antara sikap terpuji yang diperoleh sebagai dampak positif dalam pembelajaran matematika di dalam kelas adalah sebagai berikut.[11]
  1. Sikap Teliti, Cermat, dan Hemat
Pada penjelasan hakikat matematika di depan, matematika mempunyai nama lain yaitu ilmu hitung. Disebut demikian karena pada hakikatnya matematika banyak bersinggungan dengan masalah hitung-menghitung. Materi hitung-menghitung ini berkaitan erat dengan obyek matematika yang berupa pengerjaan operasi hitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, termasuk juga perpangkatan dan penarikan akar. Materi ini tidak hanya diajarkan di kelas dasar, seperti Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), tetapi juga sekolah menengah (SMP/MTs dan SMA/MA) dan perguruan tinggi (PT). Sehingga sangat wajar jika dalam proses pembelajarannya diperlukan kemampuan atau sikap siswa guna memaksimalkan hasil pembelajaran.
Dalam proses pengerjaan operasi hitung, maka siswa dituntut memiliki kemampuan atau sikap teliti, cermat, hemat, cepat, dan tepat. Saat menyelesaikan soal matematika, siswa seharusnya dituntut untuk mengerjakan dengan teliti dan cermat. Bukan hanya hasil akhir yang benar, tetapi juga proses penyelesaian yang benar. Dengan arti lain, langkah demi langkah pengerjaan soal tidak boleh salah. Siswa harus benar penyelesaiannya. Langkah demi langkah ini harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Setelah pada tahap akhir, yakni penemuan hasil atau jawaban soal, selayaknya siswa tidak terus puas dengan hasil yang diperoleh tersebut. Siswa harus mengecek lagi kebenaran dan ketepatan jawaban tersebut, baik pertanyaan yang dimaksud dari soal maupun langkah-langkah untuk memperoleh jawaban. Dengan demikian, pada intinya, matematika mengajarkan pada diri siswa untuk senantiasa jeli dan berhati-hati dalam melangkah, tidak tergesa-gesa dan berusaha mengikuti prosedur penyelesaian soal (algoritma) yang tepat.
Selain sikap terpuji tersebut, matematika juga melatih seseorang (siswa) bersikap hemat atau tidak boros. Hal ini bisa dilihat dari sikap yang dimiliki oleh seseorang yang notabene mempelajari atau mengusai bidang eksakta terutama matematika. Ketika mereka bertindak dan berbicara sebagian besar cenderung to the point alias langsung kesasaran, tidak bertele-tele. Untuk menjelaskan sesesuatu, tidak terlalu banyak kata atau kalimat pengantar yang terlalu panjang. Demikian juga ketika bertindak, selayaknya orang yang belajar matematika dapat melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan hasil yang baik. Tidak seharusnya melakukan suatu pekerjaan dengan lambat apalagi dengan hasil yang tidak optimal. Kemungkinan besar jika kita bekerja dengan demikian, pekerjaan yang kita peroleh dapat didelagasikan kepada orang lain yang lebih baik daripada kita. Oleh karena itu, seharusnya seorang siswa yang belajar matematika dapat bersikap lebih hemat dalam hal apa pun, seperti hemat tenaga, waktu, dan biaya.
Sikap hemat juga dapat muncul dalam pembelajaran matematika ketika menggunakan simbol. Simbol digunakan sebagai alat komunikasi dalam matematika. Misalnya, untuk menyatakan “unsur x merupakan anggota himpunan A” digunakan simbol “x A” atau ingin menyatakan “f adalah fungsi dari himpunan A ke himpunan B” digunakan simbol pemetaan fungsi yaitu “f : A B”. Pendapat Hudoyo yang dikutip Abdusyakir, menyatakan bahwa simbol bermanfaat untuk penghematan intelektual, karena simbol dapat mengkomunikasikan ide secara efektif dan efisien.[12] Jadi, secara tidak langsung, penggunaan simbol mengajarkan kepada kita untuk menyederhanakan pengungkapan kata atau kalimat, bahkan menyederhanakan permasalahan.
Orang yang telah belajar matematika dan menjiwainya dengan baik dapat bersikap sederhana dan simpel. Hanya saja sikap ini terkadang dimaknai dengan kaku. Bersikap hemat dalam situasi dan kondisi yang benar merupakan akhlaq mahmudah (akhlaq terpuji), tetapi berhemat pada situasi dan kondisi yang tidak tepat (salah) merupakan kekakuan. Sikap kontraproduktif seperti ini harus dijauhkan oleh siswa yang belajar matematika. Tidak boleh kaku dan seenaknya sendiri melanggar aturan yang telah digariskan.
Contoh di bawah ini merupakan salah satu sikap kekakuan yang dapat dilakukan oleh siswa atau seseorang yang belajar matematika. Misalnya saja terdapat segitiga siku-siku ABC. Panjang sisi miringnya (hipotenusa) adalah AC atau c. Panjang dua sisi siku-siku masing-masing AB atau a dan BC atau b seperti pada gambar berikut.





                      


Gambar 1 Segitiga siku-siku ABC
Berdasarkan gambar segitiga siku-siku tersebut, kita tahu bahwa:
a + b > c
Hal ini berarti bahwa jarak dari A menuju C yang melalui B akan selalu lebih panjang dibandingkan jarak dari A ke C langsung. Andaikan saja terdapat seorang ahli matematika yang ingin melalui suatu taman berbentuk persegi panjang yang ditanami rumput dan rumput tersebut tidak boleh diinjak seperti gambar berikut.


 






Gambar 2 Suatu taman berbentuk persegi panjang
Misalnya si ahli matematika tersebut berdiri di titik P. Ia ingin menuju Q. Sebagai orang yang sangat paham tentang teori matematika, ia akan berpikir bahwa jarak terpendek dari P menuju Q adalah melalui garis lurus yang menghubungkan P dan Q. Ia akan merasa berhemat jika ia melalui garis lurus tersebut. Perhatikan ilustrasi garis yang ia lalui pada gambar berikut.


 






Gambar 3 Jarak terpendek dari P ke Q
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa rumput taman tersebut tidak boleh diinjak oleh siapapun. Kalau si ahli matematika tetap melalui garis lurus tersebut karena ia beranggapan bahwa garis lurus tersebut adalah jarak terpendek untuk mencapai tujuannya, maka itulah yang dinamakan kekakuan. Seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan, sebab seseorang tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ia tidak boleh melanggar aturan yang telah ditentukan. Dengan demikian, aturan yang terdapat pada matematika harus dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial.
Ketika menyelesaikan suatu permasalahan matematika, hal yang dijadikan tujuan adalah menemukan solusi atau penyelesaian dari permasalahan tersebut. Meskipun begitu, solusi atau penyelesaian tersebut bukanlah tujuan yang utama. Justru yang seringkali terlupakan tetapi penting adalah cara mencari solusi permasalahan tersebut. Cara yang tepat dan cepat adalah tujuan yang utama. Cara yang tercepat berarti cara yang memiliki langkah-langkah paling hemat yakni bersifat efektif dan efisien.
Sebagai contoh terkait hal ini adalah soal berikut. Selesaikanlah hasil perkalian 125 x 75!
Seorang siswa barangkali akan menjawab dengan cara berikut.
125
     75 x
                                                         625
                                                       875  +
                                                       9375
            Seorang siswa mungkin saja ada yang menjawab dengan cara berikut.
                        125 x 75 = 10000 – 625 = 9375
Cara kedua merupakan cara tercepat dan tepat. Siswa tersebut menghitung dengan cara yang hemat. Ia menggunakan rumus
(a + b)(a – b) = a2b2
Siswa yang mengerjakan cara tersebut mengetahui bahwa
125 = 100 + 25
  75 = 100 – 25
            Jadi, 125 x 75 = (100 + 25)(100 – 25) = 1002 – 252 = 10000 – 625 = 9375.
Demikianlah cara matematika mengajarkan untuk berhemat. Kita dapat menganalogikan seperti berikut: menyelesaikan permasalahan matematika dengan definisi seperti berjalan kaki, sedangkan menyelesaikan permasalahan melalui teorema seperti naik kendaraan bermotor. Oleh karena itu, selayaknya guru mengetahui makna-makna dalam matematika, dan selanjutnya disampaikan kepada siswa sehingga kesan matematika tidak hidup akan hilang seketika.
  1. Sikap Jujur, Tegas, dan Bertanggung Jawab
Matematika mengajarkan pula bentuk akhlaq mahmudah yang lain. Sikap jujur, tegas, dan bertanggung jawab juga dapat kita peroleh dalam pembelajaran matematika. Misalnya, seorang guru memberikan soal tentang menemukan hasil pembagian bilangan bulat dari 42 : 7. Jika guru tersebut meminta seorang siswanya maju ke depan untuk menyelesaikan soal tersebut, maka siswa tersebut harus bersikap jujur. Jujur yang dimaksud yakni andaikan ia tidak mampu menyelesaikan soal tersebut, maka ia harus jujur untuk mengatakan tidak bisa. Jika si siswa tetap mengatakan bisa padahal ia tidak bisa, maka ia akan ketahuan bahwa tidak bisa. Ia akan ketahuan kalau tidak jujur dan tentu akan menjadi malu dengan siswa yang lain karena ia tidak mampu menyelesaikan soal tersebut meski mudah. Oleh karena itu, berkata dan bertindak jujur itu lebih baik meskipun sebenarnya pahit.
Adapun yang dimaksud sikap tegas dalam pembelajaran matematika adalah mengatakan jawaban soal yang sebenarnya. Misalnya untuk soal di atas yaitu hasil pembagian bilangan bulat dari 42 : 7. Seorang siswa yang menjawab harus tegas mengatakan bahwa hasil pembagian 42 : 7 = 6 adalah benar. Kemudian, jika hasilnya bukan 6 maka harus tegas dikatakan bahwa jawaban tersebut salah. Tidak ada dua jawaban dalam matematika yang mengatakan benar sekaligus salah, separuh benar, separuh salah, atau benar sedikit dan sebagainya. Jadi, matematika mengajarkan kepada kita tentang sikap tegas, yaitu berkata benar jika memang benar dan berkata salah jika memang salah.
Dalam pembelajaran matematika, kita juga diajarkan sikap bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat ketika kita melakukan pembuktian teorema matematika. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuktian matematika harus berdasarkan pada definisi atau sifat yang sudah diakui kebenarannya. Langkah demi langkah tersebut harus memiliki alasan kuat dan benar. Oleh karena itu, setiap langkah yang dilakukan harus selalu dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kehidupan sehari-hari, tentu hal ini sangat diperlukan. Setiap perkataan, keinginan, dan perbuatan harus dapat dipertanggung jawabkan dan berpijak pada sumber yang benar. Lalu, apakah sumber yang benar tersebut? Sebagai seorang muslim, sumber yang benar itu adalah al-Quran dan hadits. Semua perbuatan yang kita lakukan harus ada dasarnya dalam al-Quran dan hadits. Kita tidak boleh membuat suatu perbuatan yang kita akui sendiri kebenarannya. Hal ini tentu berbahaya, karena akan membawa diri kita menuju kesyirikan dan kekufuran.
Selayaknya orang yang belajar matematika juga dapat bersikap demikian. Ia mampu menarik makna dari setiap pembelajaran yang dilakukan. Tidak sekedar simbol dan angka saja, tetapi lebih dari itu yakni mendapatkan pencerahan dari yang dipelajarinya.
  1. Sikap Pantang Menyerah dan Percaya Diri
Pada uraian sebelumnya tentang tujuan pembelajaran matematika dijelaskan bahwa salah satu tujuannya adalah siswa memiliki sikap ulet (pantang menyerah) dan percaya diri. Hal ini memang tidak salah, sebab sikap pantang menyerah dapat diwujudkan dalam pembelajaran yakni misalnya ketika siswa menyelesaikan soal. Ketika menyelesaikan soal, siswa tidak boleh menyerah bila belum bisa menyelesaikan soal tersebut dengan sebuah cara. Tentu ia dapat mencari cara lain yang lebih mudah untuk menyelesaikan soal tersebut. Kita harus percaya diri bahwa kita mampu menyelesaikan soal dengan baik dan benar. Kita tidak boleh lelah untuk mencoba hingga diperoleh jawaban yang benar. Ketika jawaban yang kita inginkan ketemu maka akan muncul rasa puas dan bangga yang luar biasa. Keadaaan seperti ini akan membuat kita menjadi semangat belajar matematika.
Dalam kehidupan, sikap pantang menyerah atau tidak mudah berputus asa dan percaya diri sangat diperlukan. Sikap tersebut sangat dianjurkan dan diperintahkan dalam al-Quran. Ketika kita mendapatkan masalah, jangan mudah putus asa seakan-akan masalah tersebut tidak dapat dipecahkan. Jangan bersikap apatis, tetapi bersikaplah dengan optimis dan berpikir positif. Putus asa merupakan sikap orang kafir yang harus dihindari. Kita harus yakin dan percaya diri bahwa rahmat Allah dan hikmah masalah tersebut akan memberikan kenyamanan dan ketenangan dalam hati. Sikap optimis bahwa rahmat Allah selalu menyertai akan menghasilkan sikap sabar dan tawakkal.
            Q. S. Al Ankabut (29): 23

šúïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# ÿ¾Ïmͬ!$s)Ï9ur y7Í´¯»s9'ré& (#qݡͳtƒ `ÏB ÓÉLyJôm§ y7Í´¯»s9'ré&ur öNçlm; ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇËÌÈ

Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.

Q. S. Yusuf (12): 87

¢ÓÍ_t7»tƒ (#qç7ydøŒ$# (#qÝ¡¡¡ystFsù `ÏB y#ßqムÏmŠÅzr&ur Ÿwur (#qÝ¡t«÷ƒ($s? `ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) Ÿw ߧt«÷ƒ($tƒ `ÏB Çy÷r§ «!$# žwÎ) ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÑÐÈ

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".

Kemudian juga Q. S. Az Zumar (39): 53

 ö@è% yÏŠ$t7Ïè»tƒ tûïÏ%©!$# (#qèùuŽó r& #n?tã öNÎgÅ¡àÿRr& Ÿw (#qäÜuZø)s? `ÏB ÏpuH÷q§ «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ãÏÿøótƒ z>qçR%!$# $·èÏHsd 4 ¼çm¯RÎ) uqèd âqàÿtóø9$# ãLìÏm§9$# ÇÎÌÈ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa kita tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, tidak boleh terlalu banyak berkeluh kesah, dan sikap negatif yang lain. Demikian pula dalam pembelajaran matematika, ketika kita berposisi sebagai siswa, sikap pantang menyerah dan percaya diri dalam menyelesaikan soal matematika harus selalu tertanam dalam diri. Tidak ada kata menyerah sebelum penyelesaian dari soal ditemukan dan benar secara logis-matematis.
  1. Sikap Bekerja Sama dan Gotong Royong
Sikap positif yang merupakan cerminan dari akhlaq mahmudah adalah sikap bekerja sama dan gotong royong. Sikap ini dapat terpupuk dalam pembelajaran matematika saat menemukan permasalahan dan akan dicari solusinya. Misalnya saja ketika dalam pembelajaran matematika di dalam kelas guru memberikan beberapa soal matematika yang harus diselesaikan. Guru meminta siswa untuk berpasangan atau berkelompok. Mereka diminta guru untuk berdiskusi terkait solusi yang tepat dan benar dari soal yang diberikan. Tentu siswa akan berusaha untuk memaksimalkan anggota kelompok yang ada. Setiap anggota akan bekerja sama dan bergotong royong untuk menyumbangkan ide penyelesaian soal. Andaikan ide antara satu siswa dengan siswa yang lain dalam satu kelompok terjadi perbedaan, maka ide tersebut dapat dikonsultasikan pada anggota lainnya dalam satu kelompok. Solusi soal tersebut adalah solusi kelompok bukan perseorangan, sehingga jawaban tersebut merupakan jawaban akhir yang dianggap benar dan tepat oleh kelompok. Meskipun hasilnya belum tentu benar secara matematis seperti yang diinginkan, tetapi setidaknya siswa dalam satu kelompok telah mengerahkan segenap ide dan pikirannya untuk menyelesaikan soal tersebut. Dengan demikian, kebenaran solusi yang diperoleh merupakan kebenaran solusi kelompok yang masih perlu didiskusikan dengan kelompok lain atau guru di kelas. Meskipun begitu, siswa telah belajar mengembangkan sikap saling bekerja sama dan bergotong royong untuk menyelesaikan pemecahan dari permasalahan matematika. Keadaan ini memang tidak boleh diterapkan ketika siswa melakukan ulangan harian atau ujian akhir sekolah, karena bukan sikap kerja sama dan gotong royong yang akan dievaluasi/dinilai saat itu tetapi kemampuan individu setiap siswa.
Sikap kerja sama dan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari merupakan sikap yang sangat positif. Ketika terjun di masyarakat atau berkehidupan sosial kemasyarakat sikap seperti ini menjadi sikap yang tidak bisa dihindarkan. Misalnya saat membangun jalan setapak di lingkungan RT atau kelurahan setempat, warga yang tinggal di RT atau kelurahan tersebut tentu akan bekerja sama dan bergotong royong untuk mewujudkan pembangunan tersebut. Mereka kemungkinan akan memberikan sumbangsih yang berbeda sesuai kebutuhan. Barangkali ada yang menjadi donatur untuk pengadaan bahan bangunan seperti pasir, semen, dan batu bata. Kemudian ada juga yang memberikan sumbangan tenaga dan pikiran untuk mewujudkan hasil jalan yang baik dan tidak mudah rusak, dan lain sebagainya. Dengan demikian, hasil yang diinginkan yakni berupa jalan dapat dibangun dengan hasil yang memuaskan.
Penjelesan di atas merupakan beberapa bentuk sikap terpuji atau akhlaq mahmudah yang dapat ditemukan dalam pembelajaran matematika. Sebenarnya masih banyak bentuk sikap terpuji lainnya yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran, seperti tolong menolong, saling menghargai (toleransi), dan selalu memberikan hasil yang terbaik dalam setiap pekerjaan. Oleh karena itu, jika kita bertugas sebagai guru maka selayaknya bentuk sikap terpuji yang merupakan cerminan dari akhlaq mahmudah tersebut dapat ditanamkan dalam siswa dalam pembelajaran di dalam kelas.

E.     Menanamkan Akhlaq Mahmudah pada Siswa melalui Pembelajaran Matematika
Tidak salah jika guru melakukan penanaman akhlaq atau sikap terpuji kepada siswa dalam setiap pembelajaran matematika, sebab penanaman akhlaq atau sikap tersebut memang adalah tugas utama guru di samping mengajarkan materi pelajaran. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang disebutkan dalam kurikulum saat ini, yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, seperti memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.[13] Penanaman sikap seperti yang dikehendaki tujuan tersebut tentu tidak mudah. Pasti akan terkendala dengan berbagai hal yang dapat menyulitkan proses implementasinya dalam pembelajaran di kelas. Meskipun begitu, sebagai seorang pengajar sekaligus pendidik dalam bidang matematika, guru tidak boleh bersikap pantang menyerah. Guru dapat menanamkan berbagai bentuk sikap terpuji tersebut sedikit demi sedikit dan dapat melalui sarana antara lain sebagai berikut.
1.      Bahan materi yang diajarkan oleh guru
Seperti penjelasan di depan, penanaman sikap terpuji dapat dilakukan guru ketika melaksanakan pembelajaran di dalam kelas. Ketika guru menjelaskan sebuah materi atau konsep matematika guru dapat mengajak siswa untuk merenung bersama dari makna yang terkandung dalam definisi, fakta, prinsip, dan operasi matematika. Guru harus pandai mengaitkan obyek yang abstrak tersebut dengan sikap terpuji yang harus dimiliki siswa untuk bekal mereka dalam kehidupan kesehaarian. Misalnya, adanya sikap hemat, cermat, dan teliti dalam menyelesaikan soal matematika. Pada saat membahas soal tersebut, guru dapat memberikan selingan dengan menanamkan beragam sikap terpuji tersebut. Alhasil, tidak hanya kemampuan kognitif saja yang terasah, tetapi juga kemampuan afektifnya. Akan tetapi, guru juga perlu memberikan pengarahan tentang sikap negatif yang muncul karena salah tafsir terkait nilai yang terdapat pada matematika. Setidaknya siswa mengetahui mana sikap yang harus diteladani dan mana pula sikap yang harus dihindari.
Selanjutnya hal ini juga akan berdampak positif dalam diri siswa terkait sikap-sikap terpuji yang secara tidak langsung mewarnai dalam setiap pembelajaran matematika. Mereka akan berpikir bahwa matematika ternyata bukanlah tanpa arti dan makna. Matematika mempunyai nilai-nilai positif yang dapat diteladani. Pada gilirannya, siswa akan memiliki minat dan motivasi positif untuk belajar matematika sehingga prestasi belajarnya pun akan semakin meningkat.
2.      Penyampaian guru secara langsung pentingnya akhlaq mahmudah
Penanaman akhlaq mahmudah dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan guru secara langsung tidak berdasarkan pada bahan materi yang sedang diajarkan. Maksudnya, guru dapat berceramah tentang pentingnya akhlaq mahmudah di depan siswa-siswanya. Hal ini memang suatu keadaaan yang sering dilakukan guru bidang studi mana pun, tidak terkecuali guru matematika. Biasanya hal ini dilakukan setelah guru menjelaskan materi, atau juga ketika guru melihat siswanya ada yang sedang berbuat tidak terpuji seperti menyontek, atau juga ketika guru memang benar-benar ingin memberikan wejangan yang penting terkait akhlaq kepada siswa-siswanya.
Cara seperti ini memang cara yang biasa dilakukan oleh guru. Hanya saja terkadang membuat siswa menjadi bosan. Mereka merasa diceramahi oleh gurunya sehingga guru dianggap seorang ustadz yang ceramahnya seringkali mereka dengar. Walhasil, siswa pun merasa jenuh dan motivasi untuk belajarnya tidak meningkat, justru sebaliknya menurun. Meskipun begitu, tidak siswa bersikap demikian. Apalagi jika guru yang memberikan pencerahan kepada mereka adalah guru yang sangat mereka banggakan karena kepandaiannya dan kenyamanannya ketika menyampaikan materi di depan kelas, mereka akan tetap mendengarkan dan melaksanakan anjuran guru tersebut dengan ikhlas. Sehingga mereka pun tetap termotivasi untuk mengikuti pembelajaran matematika dengan baik.
3.      Metode pembelajaran yang digunakan guru
Penanaman sikap terpuji juga dapat melalui metode pembelajaran matematika di dalam kelas. Misalnya guru ingin menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap kerja sama dan gotong royong di antara siswa. Guru dapat menggunakan metode pembelajaran kooperatif (kooperatif learning). Dalam metode pembelajaran kooperatif, siswa akan melakukan kerja sama untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Siswa pandai tidak hanya berkumpul dengan siswa yang pandai saja dan juga siswa yang tidak pandai dengan siswa yang tidak pandai, tetapi bercampur menjadi satu kelompok. Siswa pandai berkumpul bersama dengan siswa yang tidak pandai. Diharapkan mereka dapat bekerja sama, yaitu siswa yang pandai membimbing siswa yang tidak pandai dan bersama-sama mencapai tujuan kelompok.
Dalam proses pembelajaran seperti ini, guru memang harus pandai mengatur keteraturan dan urutan-urutan (sintaks) pembelajaran. Tanpa hal itu, dikhawatirkan tujuan yang diinginkan guru tidak tercapai secara optimal. Mungkin saja siswa yang pandai tidak ingin membimbing siswa yang tidak pandai, sehingga hanya siswa yang pandai saja yang memahami materi yang mereka pelajari. Oleh karena itu, guru dapat menggunakan beberapa tipe pembelajaran kooperatif (cooperative learning), seperti TGT (Teams Game Tournament), TAI (Teams Assisted Individualitation), ataupun STAD (Students Teams-Achievment Division), dan masih banyak lagi yang lain.

F.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, tugas guru memang bukan hanya mengasah kemampuan kognitif siswa saja, tetapi juga kemampuan psikomotorik dan lebih-lebih kemampuan afektif. Matematika yang selama ini dipandang obyek kajiannya abstrak sebenarnya dapat dieksplorasi sisi afektifnya yakni melalui pemberian makna yang ada di dalam definisi, fakta, prinsip, dan operasi matematika. Akhlaq mahmudah atau sikap terpuji yang dapat diberikan kepada siswa dalam pembelajaran matematika terkait obyek matematika tersebut adalah sikap-sikap terpuji seperti sikap kejujuran, kegigihan, ketelitian, tanggung jawab, pantang menyerah, dan percaya diri. Sementara itu, proses penanaman berbagai bentuk sikap tersebut dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui penyampaian materi bahan ajar (makna pembelajaran matematika), penyampaian secara langsung, dan metode pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Setelah mengetahui sisi-sisi afektif yang terdapat dalam pembelajaran matematika, diharapkan guru dapat mengimplementasikan sikap-sikap tersebut dengan keteladanan sehingga juga dapat dengan mudah tertanam dalam diri siswa. Guru tidak hanya sekedar mampu menyampaikan, tetapi benar-benar dapat menjadi role model dari para siswanya.





DAFTAR PUSTAKA

Abdusyakir. 2007. Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN-Malang Press.

Harefa, Andreas. 2003. Menjadi Manusia Pembelajar (On Becoming A Learner); Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. Jakarta: Kompas.

Ilyas, Yunahar. 2005. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LPPI.

Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Istilah Populer. Surabaya: Arkaloka.

Permendiknas RI No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Pusat Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Matematika Mata Pelajaran Matematika SD & MI. Jakarta: Depdiknas.

Suherman, Erman dan Udin S. Winaputra. 2003. Materi Pokok: Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

أrtikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal ilmiah PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah) Al Bidayah, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009/2010



[1] Pusat Kurikulum, Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Matematika Mata Pelajaran Matematika SD & MI. (Jakarta: Depdiknas, 2003), hlm. 6.
[2] Ibid, hlm. 6.
[3] Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar (On Becoming A Learner); Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 63.
[4] Erman Suherman dan Udin S. Winaputra, Materi Pokok: Strategi Pembelajaran Matematika. (Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 119.

[5] Abdusyakir, Ketika Kyai Mengajar Matematika. (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 7.
[6] Permendiknas RI No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.(Jakarta: Depdiknas, 2006), hlm. 416.
[7] Ibid, hlm. 417.
[8] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq. (Yogyakarta: LPPI, 2005), hlm. 1.
[9] Ibid, hlm. 2.
[10] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Istilah Populer, (Surabaya: Arkaloka, 1994), hlm. 427.
[11] Abdusyakir,Ketika Kyai …, hlm. 70-75.
[12] Abdusyakir, Ketika …, hlm. 71.
[13] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar